To be a better human.

I always believe every movie is personal. Baik untuk penontonnya, mau pun bagi si sutradaranya sendiri. Dan film-film Yasmin Ahmad, bagi saya sangat bagus dan sangat berkesan secara emosional. Tetap ada bumbu-bumbu percintaan, tapi sangat mengutamakan kasih sayang keluarga. Semuanya dikemas dalam scene-scene keseharian. Apalagi di film yang melibatkan anak-anak. Saya juga suka sekali dengan lagu-lagu yang ada di film-filmnya. Yasmin mengajak kita not just to be a better moslem, but to be a better human. Ini yang selalu saya rindukan di film-film Indonesia.

Di film-film Yasmin ngga ada scene syuting di luar negeri. Ngga ada adegan anak yang tertukar. Ngga ada semacam seseorang yang terkena penyakit parah. Ngga ada scene seseorang mendengarkan iPod, memakai Blackberry, mengutak-atik Galaxy Tab, atau mengetik di MacBook Pro. Ngga ada scene menampilkan merek minuman tertentu yang bagian dari sponsor. Ngga ada adegan syuting di mall-mall. Yang ada malah syuting di sawah, di atas pohon, di halte bis, dan paling banyak di sekolah.

Akhir Oktober lalu saya merasa bosan. Melihat deretan film di bioskop 21 kok rasanya menjemukan. Kecewa dengan Perahu Kertas bagian pertama, akhirnya saya memutuskan tidak menonton sekuelnya (why we always failed when making sequels, anyway? I mean like, film Scream pun kenapa bisa sampai 4? Belum lagi Paranormal Activity). Sebenarnya ada Skyfall. Tapi sampai detik ini saya belum berkeinginan untuk menonton film mata-mata yang tangannya bukan cuma jago megang pistol, tapi juga ‘megang-megang’ yang lain di tubuh wonderland perempuan.

Akhirnya saya cek website Kineforum. Saya selalu bersyukur dengan kehadiran bioskop alternatif ini. Kineforum membuat penonton mempunyai pilihan. Dan ternyata, program untuk bulan November adalah film-filmnya Yasmin Ahmad. Wahhh saya seperti mendapat jawaban dari kebosanan saya. Semua film-filmnya Yasmin, dari Rabun sampai Muallaf, ditayangkan secara perdana di Kineforum selama weekend (Jumat, Sabtu, Minggu), dua minggu berturut-turut. Gratis lagi.

Tiba-tiba saya rindu ingin menontonnya lagi. Tadinya saya mau nonton sendirian. Tapi akhirnya saya memutuskan mengajak seorang teman, yang saya yakin orangnya open minded dan semoga tidak berpikiran bahwa saya sedang meracuninya dengan film-film Malaysia. Saya mengajaknya melalui sms berisi : “Paling tidak, ada hal yang tidak menyebalkan dari Malaysia. Nonton film-film Yasmin Ahmad yuk?,” begitu lebih kurang isi sms saya ke dia. Dan ternyata, dia mau nonton meski mengatakan pada saya dia tidak kenal Yasmin Ahmad (well, saya pun ngga kenal lah weeyy).

Kebetulan hari itu adalah hari pertama penayangan rangkaian film Yasmin Ahmad (2/11). Sehari diputar tiga film. Pertama, kompilasi film pendek Yasmin (tapi yang ini kami tidak menontonnya). Film kedua (yang kami tonton) itu adalah Rabun. Tapi saya kaget bukan kepalang. Ternyata penontonnya benar-benar hanya kami berdua, saya dan teman saya itu. Usai film diputar, masuklah Orked ke bioskop mungil berkapasitas 40kursi itu. Orked adalah adik almarhum Yasmin Ahmad. Dia bilang dia sedih karena melihat penontonnya hanya dua orang. Dia pun bertanya bagaimana kesan kami setelah menonton film Rabun? Saya langsung menunjuk teman saya itu : “Nih dia yang baru pertama kali nonton. Saya udah pernah.” Lalu tidak lama kemudian, Orked menawarkan kami menyicipi semacam agar-agar yang dia bawa dari Malaysia. Wahh kami jadi merasa tersanjung. Sekaligus akrab. (Intermezzo: siapa sangka, ternyata teman saya itu cukup suka sama film Rabun dan bahkan menulisnya di blog pribadinya).

Ketika itu, Orked tidak sendirian. Dia ditemani Jovian Lee, Creative Group Head Leo Burnett Kuala Lumpur. Dia bertanya pada kami, apakah kami orang-orang dari advertising. Teman saya menjawab bukan, kami ini wartawan. (Walaupun sebenarnya saya tidak begitu suka memberi tahu identitas saya yang sebenarnya, kalau bukan dalam suasana press conference atau bener-bener lagi kerja). Dalam setiap pemutaran film di Kineforum, termasuk waktu nonton film-filmnya Ismail Basbeth, saya lebih suka mengatakan kalau saya adalah Vega, warga setempat. Enough said. Tidak penting siapa saya.

Lalu seorang laki-laki ikut masuk ke ruangan mungil itu. Nampaknya panitia dari Kineforum. Orked bertanya apakah dalam setiap pemutaran film di Kineforum selalu sepi penonton seperti ini? “Sedih lah tengok macam ni..,” ujar Orked. Saya pun memberi sedikit alasan klasik bahwa publikasinya kurang. Orang-orang ngga aware sama Yasmin Ahmad. Lagipula, film-filmnya sudah terlalu lama. The latest one saja, Muallaf, itu pun tahun 2008. Si laki-laki itu menambahkan, orang-orang yang nonton di Kineforum adalah orang-orang yang memang beneran mau nonton. Yang niat mencari tahu sendiri lewat twitter, buka website, atau tanya-tanya langsung ke booth Kineforum.

Orked lalu bercerita, film-film Yasmin ini mahal karena harus bayar royalti musik untuk setiap penayangan. Setiap lagu yang ada di film-film Yasmin semuanya adalah lagu kesenangannya Yasmin sendiri. Saya menemukan satu lagu instrumental yang sangat saya suka, yaitu Claire de Lune by Debussy. Lagu ini dipakai di dua film Yasmin, yaitu Rabun dan Talentime. Belakangan saya mendengarnya lagi diputar di film Lovely Man-nya Teddy Soeriaatmadja.

Then, memasuki film kedua, Gubra, penontonnya bertambah. Kali ini bukan hanya saya dan teman saya saja. Oh iya sebelum lanjut nonton Gubra, saya sempat membeli popcorn dan memberikannya satu untuk Orked. Tiba-tiba saya merasa senang sendiri. Saya senang bisa benar-benar menikmati menonton sambil makan popcorn, layaknya nonton film biasa di 21. Biasanya, untuk nonton film Yasmin Ahmad itu selalu rush. Dibutuhkan extra effort. Saya teringat ketika ngotot mau nonton film Muallaf yang premiere di Jiffest 2009, yang ketika itu hanya untuk invitation only. Saya sampai nekad menulis surat untuk Amir Muhammad, yang ternyata dia reply, dan akhirnya saya bisa nonton!! Meski itu pun harus berjuang berangkat menuju Blitzmegaplex Grand Indonesia, memburu waktu usai kerja, dan tidak bisa benar-benar menikmati filmnya sambil ongkang-ongkang kaki dan makan popcorn. Selain Muallaf, saya juga berkesempatan nonton Rabun dan akhirnya ketika itu lengkap sudah enam film Yasmin khatam saya tonton.

Kembali ke Kineforum. Hari Sabtunya saya lanjut mengikuti diskusi peluncuran buku “Yasmin How You Know?”. Bukunya dijual cukup mahal, Rp160.000 per eksemplar. Orked bilang seluruhnya akan disumbangkan ke Mercy Malaysia, tempat favorit Yasmin dalam beramal. Diskusi dipandu Ekky Imanjaya dan turut hadir teman-teman Yasmin yang menyumbangkan tulisan di buku itu. Turut hadir juga teman-teman Yasmin dari Leo Burnett, yang mengungkapkan kepada audiens tentang apa yang paling diingatnya dari seorang Yasmin Ahmad. Diskusi berlangsung haru karena sesekali Orked menitikkan air mata, sama seperti saat session Q&A di Jiffest 2009 dulu. Orked bilang bahwa semula buku ini tidak diizinkan terbit oleh suami Yasmin, Yew Leong. Menurut Orked, Yew Leong masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Yasmin. Lalu Orked bernegosiasi, part-part tentang Yasmin dan Yew Leong, dihilangkan. Akhirnya buku pun diterbitkan. Bahkan, rencananya akan ada buku jilid 2. Lebih jauh Orked memberi tahu kami semua bahwa akan ada museum Yasmin Ahmad di Ipoh nanti.

Dalam diskusi, Orked bercerita bahwa film-film Yasmin kerap mendapat kontroversi di Malaysia sendiri. Dia mengakui film-film Yasmin selalu bersinggungan dengan agama, khususnya Islam. Dia mengatakan Yasmin dulu sering menyesalkan mengapa dalam setiap diskusi yang membahas filmnya, dia sendiri sebagai sutradara tidak pernah diundang, agar audiens mendapat pandangan yang lengkap, both sides. Orked pun heran mengapa masyarakat Malaysia lebih senang menonton film-film hantu macam Jangan Pandang Belakang, Jangan Pandang Tepi, Jangan Pandang Depan.. yang kemudian disambut tawa audiens (err.. audiens yang paham bahwa sebenarnya dua judul terakhir itu tidak pernah wujud).

Lalu, sebelum menutup acara diskusi, salah seorang pembicara pun bertanya pada audiens: ‘siapa di antara penonton di sini yang sudah pernah bertemu langsung dengan Yasmin?’

Saya, yang sebenarnya pernah bertemu sekali dengan Yasmin, memutuskan diam dan tidak mengangkat tangan. Saya tidak ingin terlalu eksis dan menciptakan scene ‘semua mata tertuju padamu’. Saya tidak ingin mereka semua tahu. Cukup saya mengutarakannya di tulisan ini saja. Karena pada saat diskusi buku itu, bagaimana mungkin saya bisa menjelaskan bahwa saya sudah jatuh hati dengan film Yasmin saat pertama kali menonton Sepet pada 2006 menjelang Idul Fitri di rumah sahabat saya, Syefa, di Ipoh dulu? Bagaimana mungkin saya bisa menjelaskan bahwa saya ikutan mengantri tandatangan Yasmin saat premiere Talentime di kampus saya dulu? Bagaimana mungkin saya bisa menjelaskan sebenarnya saya sudah mendapatkan softcopy buku ini dari teman saya, Shalahuddin Siregar, jauuuhhh sebelum buku ini terbit, yaitu sejak Januari awal tahun ini? Dan bagaimana mungkin saya bisa menceritakan soal surat untuk Amir Muhammad dan semuanya itu??

Tapi setelah dipikir-pikir, terlepas dari part eksisnya, sebenarnya sebuah diskusi diadakan semata-mata untuk mendapatkan feedback dari penonton. Bagaimana si sutradara bisa tahu filmnya bagus atau ngga, ketika penontonnya diam saja?

Tapi mungkin diam-nya saya ketika itu adalah karena saya masih agak sedikit sakit hati, setelah nonton film The Land Beneath The Fog-nya Shalahuddin Siregar. Saat saya mengiriminya sms mengapresiasi filmnya, jawabannya ternyata kurang lebih begini : “Kalau ngga nonton sampai akhir, ngga usah komentar”. Padahal saya waktu itu nonton sampai akhir. Meluangkan waktu saat teman saya, Ka Alya dan suaminya, sedang berkunjung ke Jakarta. Bahkan, saya juga mengajak mereka ikutan nonton di Goethe Institute. Seketika, jujur saja itu sedikit menusuk hati. Walaupun saya tahu he didn’t mean to say that. Dia hanya sinis, seperti biasa. Tapi akibatnya, saya jadi urung menulis review The Land Beneath The Fog. Biarlah, toh dia sekarang sudah sukses di Dubai Film Festival. Kantor berita Antara, The Jakarta Post, dan Tempo sudah menulis tentang filmnya. Dan saya ikut berbahagia. Tapi sungguh, saat itu saya hanya ingin memberikan feedback, yang saya pikir.. ‘bukankah itu yang dibutuhkan oleh setiap sutradara? Feedback dari media, feedback dari kritikus film, dan juga feedback dari penonton biasa seperti saya ini?’ Saya ngerti kalau bikin film itu susah, masa syuting itu melelahkan, apalagi masa ngedit yang memakan waktu. Tapi terkadang, ternyata sutradara tidak memahami bahwa penonton sekarang juga berjuang dan melakukan extra effort untuk menonton sebuah film. Contoh sederhana, kami mengeluarkan uang untuk beli tiket dan pergi ke bioskop. Kami meluangkan waktu. Kami melakukan berbagai upaya membujuk teman sendiri untuk mau nonton film Indonesia di bioskop.

Dan untuk film festival, seperti Jiffest atau seperti penayangan di Kineforum ini, kami mencari tahu waktu, tempat, dan berusaha agar bagaimana bisa ke sana tepat waktu, di tengah-tengah macetnya ibukota dan segala kesialan lain di moda transportasi umum kita. Bagaimana saya bisa menjelaskan ke Orked dan Jovian Lee bahwa dibutuhkan extra effort untuk meluangkan weekend, melangkahkan kaki ke Taman Ismail Marzuki, menembus hujan, sekali pun tayangannya itu gratis? Oke, saya rasa cukup sampai di sini sebelum saya bertambah sinis. Dan ahaayy, ternyata sudah 3 halaman MS Word, sodara-sodara! Kesurupan apa saya ini.

Akhir kata, once again, I always believe every movie is personal. Begitu pun dengan review film. Siapa pun bisa memiliki pendapatnya masing-masing tentang film-film Yasmin Ahmad. Bahkan review dari Kineforum-nya sendiri menyatakan bahwa Yasmin Ahmad berjualan ide multikulturalisme. Tapi buat saya, film-film Yasmin Ahmad termasuk jenis film yang saya ingin tonton berkali-kali. Karena melalui film-filmnya, Yasmin mengingatkan saya untuk jangan pernah berhenti mencoba menjadi manusia yang lebih baik. Yang selalu bersyukur setiap bangun tidur di pagi hari. Yang selalu memaafkan kesalahan orang lain. Dan yang selalu menyayangi orangtua kita.

[Kebon Sirih, 12 November 2012]

[03.09 AM]


About this entry